dipostkan disumbernya pada 16 Oktober 2014
Selama beberapa bulan terakhir ini, tiga studi utama telah
melaporkan data yang mengandung pesan kuat untuk para pendidik, orang tua, dan
pembuat kebijakan pendidikan. Studi-studi ini menantang nilai-nilai kita
sebagai pendidik dan orang tua, serta menantang nilai budaya yang melampaui
pendidikan. Kita perlu menyimak pesan tersebut dan meresponnya secara efektif.
Terlalu keren
Studi pertama yang dipublikasikan di bulan Juni dalam jurnal
Child Development dan juga telah dilaporkan di The New York Times. Studi ini
menelusuri kehidupan beberapa anak berumur 13 tahun yang mana dipandang oleh
teman-teman kelompoknya sebagai anak “paling keren”. Nampak kecemburuan dan
juga kekaguman pada anak-anak tersebut. Anak-anak perempuan sering kali
menggunakan make-up, berpacaran, dan pergi ke pesta untuk siswa yang lebih tua.
Anak-anak lelaki membanggakan dirinya yang telah secara diam-diam minum minuman
keras dan memiliki kondom. Mereka juga cenderung untuk tampil menawan.
Tim peneliti yang dikepalai oleh Joseph Allen, seorang
profesor psikologi di University of Virginia, menelusuri anak-anak ini selama
satu dekade.
Ketika anak-anak ini mencapai jenjang sekolah menengah atas,
status sosial mereka cenderung turun secara signifikan, dan mereka mulai
kesulitan diberbagai aspek. Teman-teman sekelompoknya mulai lebih dewasa dan
popularitas anak “keren” memudar. Perilaku pseudo-dewasa mereka nampaknya malah
menimbulkan permasalahan bagi mereka. Pada waktu mereka mencapai awal 20an,
banyak dari mereka memiliki masalah keintiman sebuah hubungan, narkoba dan
minuman keras, dan bahkan aktivitas kriminal. Sekarang mereka dipandang oleh
teman-teman kelompoknya sebagai tidak kompeten secara sosial dan “masih hidup
di dunia sekolah menengah pertama”. Percobaan pertama mereka untuk berperilaku
dewasa nampaknya malah membuat mereka terhambat secara sosial.
Dr. Allen sudah menyarankan bahwa ketika anak-anak ini
dahulunya mengejar popularitas, mereka kehilangan periode penting perkembangan
pada masa itu. Remaja muda lainnya pada masa itu mempelajari cara mempererat
pertemanan dengan teman satu gender sambil menghabiskan waktu pada
kegiatan-kegiatan yang kurang dramatik seperti menonton film di rumah dan
jalan-jalan membeli es krim.
Ketika Allen menunjukkan bahwa pseudo-kematangan bukanlah
predikator pasti dari perilaku-perilaku selanjutnya dari anak-anak tersebut,
bukti-bukti dengan jelas mengindikasikan kecenderungan kepada hal tersebut.
Ini berimplikasi kepada baik para orang tua maupun pendidik
di sekolah menengah pertama. Para orang tua harusnya tidak terlalu mempedulikan
kondisi anak remajanya yang tidak “populer”. Harusnya mereka memperhatikan
apakah anak mereka bergaul dengan anak lain yang lebih tua yang bukan role
model yang baik, ingat anak-anak yang
lebih nakal akan cenderung menggunakan narkoba dan minuman keras.
Namun demikian sekolah juga memiliki tanggung jawab untuk
berespon terhadap data ini. Siswa menghabiskan sebagian besar waktu aktif
mereka di sekolah dan interaksi teman sekelompok seringnya terbentuk di
sekolah. Sekolah seharusnya membangun program yang dapat membantu siswa
meningkatkan wawasannya terhadap bahaya yang timbul dalam kematangan pseudo,
yakni perilaku “keren”. Sekolah seharusnya dapat membuat siswa belajar mengenai
studi ini dan mendiskusikannya karena ini menyangkut kehidupan mereka.
Menantang norma di kelompok pertemanan yang sudah terbentuk memanglah sulit,
namun anak-anak memiliki kapasitas hati nurani mengenai masalah ini.
Kurangnya rasa empati
Studi kedua dari Harvard’s Graduate School of Education
tidaklah kurang penting dari studi sebelumnya. Harvard melakukan proyek dengan
mensurvei 10.000 siswa sekolah menengah pertama dan atas mengenai hal-hal apa
yang penting bagi diri mereka, “memperoleh level yang tinggi, kebahagiaan, atau
peduli terhadap sesama”. Hampir 80% dari siswa tersebut memilih pencapaian yang
tinggi atau kebahagian ketimbang peduli sesama. Hanya sisanya, yakni 20% dari
siswa yang memilih peduli sesama sebaga prioritas utama mereka!
Jika anda juga merasakan hal yang sama dengan saya mengenai
apa yang penting bagi anak-anak kita dan bagi masyarakat kita, anda juga
mungkin memahami dalamnya perhatian saya terhadap hasil survei ini. Ini
merupakan studi yang harus dibaca oleh setiap pengajar dan pemimpin pendidikan.
Maka kemudian sekolah perlu untuk secara serius memperhatikan prioritas mereka
dan melakukan tindak lanjut dengan menganalisa ulang berbagai program kerja dan
kurikulum agar dapat meningkatkan empati siswa didiknya. Beberapa literatur
yang kami sarankan: Developing Empathy:
High School from the Teaching Tolerance proyek dari Southern Poverty Law Center;
Unleashing Empathy: How Teachers
Transform Classrooms with Emotional Learning, dipublikasikan pada majalah
Yes; Roots of Empathy, baik proyek
utamanya maupun bukunya; dan terakhir, tolong baca Homa Tavangar's Edutopia post Empathy: The Most Important
Back-to-School Supply.
Namun terdapat beberapa ajuan saran. Semua pendekatan
disaran yang diajukan ini menyarankan beberapa cara efektif untuk mempromosikan
empati pada siswa. (a) pola pengasuhan di awal
masa anak-anak kemungkinan merupakan variabel yang jauh lebih kuat untuk
dipertimbangkan, dan (b) ini akan menjadi pertarungan yang sulit di masyarakat
karena pencapaian, utamanya akan kesejahteraan dan status, jauh lebih dihargai
dibandingkan dengan empati.
Menghitung domba
Hal di atas mengarahkan kita pada studi terakhir, dijelaskan
dalam sebuah buku terlaris Excellent
Sheep: The Miseducation of The American Elite and a Meaningful Life karya
William Deresiewicz, seorang mantan profesor di Yale University. Buku tersebut
berfokus pada siswa-siswa paling sukses di universitas paling elit, dan hasil
karya tersebut menjadi sebuah hantaman bagi universitas karena menekankan
kualitas dan kemampuan yang salah kepada didikannya. Dalam karyanya Deresiewicz
menulis:
Sistem telah mengolah siswa yang pintar dan berbakat dan
berdaya maju, ya, namun juga tegang, kaku, dan tersesat, dengan sedikit
keingintahuan intelektual dan daya melihat tujuan yang kabur; terjebak dalam
gelembung hak-hak istimewa, menuju arah yang sama secara membuta, tangguh dalam
apa yang mereka lakukan namun tidak tahu menahu mengapa mereka melakukan hal
tersebut.
Sekolah menengah atas dan banyak orang tua terlibat dalam
hal ini. Ketika dampak dari sekolah dan orang tua dapat jelas terlihat, pelaku
utama yang sebenarnya ialah nilai-nilai dalam berbagai komunitas yang lebih
mengutamakan pencapaian ketimbang peduli sesama.
Dengan berbagai halangan ini, kita setidaknya dapat
mengangkat kewaspadaan dan wawasan serta membantu mengembangkan pembelajaran
yang lebih kepada nilai altruistik. Jikapun kita gagal untuk merespon ketiga
studi ini, setiap dari diri kira memiliki tanggung jawab terhadap harga yang
akan kita bayarkan nanti oleh siswa atau anak-anak kita.
MARK PHILLIPS'S
Alih Bahasa oleh: FxT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar